Arsip untuk Mei, 2019

Maunya rezim ini sih sok modern. Supaya kelihatan paham teknologi digital, Capresnya sengaja menjebak Capres lawan dengan pertanyaan soal unikon. Disangkanya Prabowo nggak paham gituan. Supaya lebih jelas arah pertanyaannya, Capres lawan bertanya, maksud bapak yang onlen-onlen itu?

Pertanyaan Capres lawan jadi bahan tetawaan sekampung Lengkuas. Mereka menganggap kubu lawan nggak paham teknologi digital. Apalagi dimana saja Junjungannya  pidato, pasti membangga-banggakan soal unikon yang onlen 0nlen itu, kaya yang banyak paham saja soal itu.

Onlen-onlen bukan soal teknologi tapi soal mental. Percuma membanggakan onlen-onlen kalau mentalnya masih oflen. Cegukan dikit, langsung blokir. Gimana mau bicara 4.0, bisnis kecil-kecilan  via WA saja diganggu terus.

Dengan bangganya Menkopolinfo mengumumkan mengurangi kamampuan WA. Nggak bisa mengaplot gambar dan video. Jadi, jika ada yang jualan onlen via WA memberikan bukti transfer pembayaran, cuma terbaca pesannya saja. Bukti pembayarannya tidak bisa diaplot.Kan ngerepotin. . Bahkan, untuk versi WA versi Web sudah nggak bisa dibuka.

Alasannya, sama dengan alasan pemerintah orba yang memberedel media dengan alasan keamanan. WAG dianggap sarang hoax. Padahal kan WA bukan hanya berisi berita politik, tapi malah lebih banyak kepentingan umum yang lebih luas.

Lagian rezim yang takut dengan hoax kan sama saja dengan mengaku kalau omongan mereka nggak dipercaya rakyat. Rakyat lebih percaya pada sumber yang kurang jelas. Pemerintah seolah sudah putus asa karena penjelasn resminya nggak dipercaya oleh rakyat. Maka satu-satunya jalan, rakyat dipaksa menerima berita dari satu sumber saja, sumber pemerintah. Persis dengan cara orba yang pada awalnya melarang radio swasta membuat berita sendiri. Sumber berita harus dari Departemen Penerangan.

Setelah menghanguskan sejumlah akun fesbuk, kini WA jadi sasaran. Bukan mustahil, jika nanti belanja onlen disusupi oleh ini itu yang tidak berkenan di hati pemerintah, maka aksesnya juga akan dibatasi. Makanya jangan sok onlen onlen kalau mentalnya masih oflen!

Kenapa laki mencari lawan sebanding? Tentu saja soal harga diri, bukan sekedar menang kalah. Dalam dunia kangouw, begundal yang paling ditakuti di seantero dunia persilatan bersama anak buahnya mendatangi kampung, mampir di restoran. Semua orang  yang ada di restoran memilih menyingkir ketimbang dilempar ke atas genteng oleh anak buah penjahat yang mabuk. Padahal mah para bedebah itu merasa mengotori tangannya kalau sampai nabokin pengunjung restoran. Bukan lawan sebanding.

Entah sebab apa, salah satu anak buah begundal itu rupanya mengganggu istri penduduk setempat. Tentu saja suaminya marah tidak kepalang. Menghunus golok babi mendatangi restoran seraya berteriak, “ Haaaai…begundaaal..keluaaaar…kepala kalian akan aku penggaaaal…”

Para begundal tidak marah, malah ketawa ngakak. Seorang penduduk yang lugu, cuma mengandalkan emosi doang karena istrinya diganggu. Hanya ingin menunjukkan wibawanya sebagai seorang suami. Padahal mah dengan sekali sentil saja oleh anak buah begundal, suami yang malang itu akan budeg seumur hidup.

Bagi para begundal kaliber nasional, melawan suami yang cuma mengandalkan emosi dan biji doang bukan lawan sebanding. Meladeni suami emosian itu bagi para begundal sama saja dengan merendahkan diri, menurunkan kelas. Biar saja dia teriak sampai urat  lehernya kejang, nggak bakal dia berani masuk restoran. 

Berbeda terbolak balik dengan satu pemerintah yang mengaku dicintai rakyat, masih dipercaya rakyat, didukung dengan kekuatan keamanan, militer yang katanya super kuat, diancam oleh “Seorang suami emosian yang cuma mengandalkan biji ” ditanggapi secara berlebihan.

Kalau toh suami emosian itu sampai mengancam akan memenggal kepala boss pemerintah, apakah terkesan lucu atau seram? Kayanya lebih lucu dari srimulat. Dia bisa berbuat apa dengan ancaman itu? Pegang pisau babi nggak, nggak punya ilmu kebal, nggak punya beking, nggak punya followers, kok bisa bikin panik pemerintah yang katanya punya power ruaaar biasa.

Sikap berlebihan menanggapi ancaman itu malah merendahkan derajat kesuperan. Seolah-olah ingin menunjukkan kalau pemerintah nggak punya power, makanya diancam oleh seorang yang mulutnya ember langsung panik. Anehnya, setelah menangkap suami emosian itu, malah dipamerkan seakan bangga telah berhasil menangkap penjahat atau pemberontak kelas wahid. Pemerintah yang nggak punya power pasti paling takut mendengar people power.

Menkopolinfo

Kalau ada elit oposisi yang bilang ada kecurangan, mending ngobrak-ngabrik medsos, nggak ada perlawanan, warganet kan manusia-manusia yang paling nggak berdaya. Akunnya diblokir cuma bisa ngomel-ngomel, entah ngomelin siapa. Capek ngomel, ya planga-plongo. Mana berani kekuasaan melawan elit oposisi yang terang-terangan bilang ada kecurangan. Paling banter berani mengancam warganet yang coba-coba ngeshare ucapan elit oposisi.

Kalau punya power, pasti yang pertama dilawan adalah tokoh yang pertama mengucapkan people power. Tapi mana berani, lha ucapan tokoh itu saja masih harus dianalisa, diterawang, ditelisik,dibolak balik oleh sejumlah professor. Enakan nangkap orang yang nggak punya power. Nggak beresiko tapi mengandung pesan buat para elitnya agar jangan lagi ngancam-ngancam pemerintah.

Kenapa punya segala kemewahan, kekuatan tapi seolah nggak punya power? Beraninya sama anak kecil atau suami emosian yang cuma bermodalkan nekad? Merendahkan wibawa sendiri, memamerkan kelemahan, nggak berani menindak para elit oposisi? Mestinya, boss lawan boss, elit lawan elit.Di medsos, Bong lawan Pret. Tapi sayangnya, Bong beraninya main bapakan.

Ada peribahasa, berani karena benar takut karena salah. Nah, tafsirkan sendiri deh.

Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Kalau datang ke kampung Lengkuas, kelakuan kita harus menyesuaikan diri dengan kearifan lokal penduduknya. Salah satu ciri khas kelakuan penduduknya adalah cara ngelesnya. Cara ngeles yang sudah jadi tradisi turun temurun.

Jika misalnya bulan puasa ini kamu memergoki  salah satu penduduk kampung Lengkuas sedang nongkrong di warung makan, besoknya kita ketemu dia dan dbilang, “ Kamu ngakunya puasa, tapi kemarin aku lihat kamu makan di warung. Ayo, ngaku…”

Dengan serius dia  ngotot membela diri, “ Ah, nggak…Ngarang saja! Hoax! Aku kemarin nggak makan. Cuma minum teh manis! “ Padahal intinya kan bukan makan atau minum, tapi nggak puasanya itu.

Kalau penduduk kampung Lengkuas bikin sayembara menemukan kecurangan berhadiah satu milyar, jangan langsung percaya.  Coba tanya, uangnya ada nggak? Jawabnya, ada. Masih di tangan pengusaha. Lha iya laaah. Uang segitu pasti ada di kantong pengusaha, masa di tangan tukang cendol. Uang orang dibuat hadiah sayembara.  Kalau kita bilang sih itu ngaco. Tapi bagi mereka itu kearifan lokal yang harus terus dilestarikan.

Kalau misalnya kita tanya, kenapa masih memilih Jae yang sudah jelas ingkar janji. Sodorkan sejumlah bukti janji Jae yang diingkari. Mereka, warga kampung Lengkuas dengan sangat meyakinkan mengatakan itu bukan ingkar janji, tapi target janji yang belum tercapai.

Warga kampung Lengkuas penasaran, dimana sih BPN menghitung suara C1. Sampai wartawan yang berafiliasi dengan kampung Lengkuas antap intip sekitaran markas BPN. Karena nggak nemu pusat pengolahan data BPN, warga kampung Lengkuas sesumbar. Ayo, dong kalau berani tunjukan bukti kalau ada  kecurangan. Undang kami kesana, kita  adu data!

Pas hari pembuktian kecurangan, diundang nggak mau datang. Alasannya, kenapa kecurangan diumumkan ke publik, bukan melalui jalur yang konstitusional!

Kalau ada yang belum pernah melihat cara warga kampung Lengkuas mengucapkan kata “konstitusional,” saya kasih gambaran begini. Mulutnya monyong saat mengucapkan vocal “o” mangap saat vocal “a” dan seperti menyeringai saat mengucapkan vocal “i” Coba saja perhatikan kalau warga kampung Lengkuas mengucapkan, “ NKRI harga mati.”  Karena ada dua vocal “I” di tengah dan akhir, kita akan menyaksikan seringai yang lebih tegas. Kalau mengucapkan huruf konsonan, seperti berdecak dan mendesis. Kalau mengucapkan diftong seperti melambai. Perhatikan kalau mereka mengucapkan kata “lebai” atau “ Target belum tercapai,” dan semacamnya.

Penduduk kampung Lengkuas tidak terbiasa marah. Makanya kalau ada warganya yang maksa marah malah nampak lucu. Coba nanti perhatikan kalau ada warganya yang teriak, “ Dulu saya diam saja, sekarang saya akan lawan! “ Kita tidak menemukan wajah galak apalagi seram, tapi malah nampak lucu.

Cara marah kampung Lengkaus itu berbeda. Wajah mereka nampak tenang, terkadang senyum, sedikit memaksa ilmiah, relegius, tapi besoknya ada yang jadi tersangka, ada yang langsung ditahan. Pokoknya semua diusahakan nampak konstiusional! Sesuai hukum, bla bla bla. Sangkaan, dugaan yang sudah lama terkubur bisa digali kembali, pokoknya yang penting sesuai hukum yang berlaku!

Ya, itu ciri alamiah bukan dibuat-buat. Terbentuk karena faktor lingkungan.  Tapi dari semua ciri kearifan lokal kampung Lengkuas, yang paling dikenal sampai seantero negeri adalah cara ngelesnya. Jadi jangan heran kalau misalnya ada yang dengan sangat meyakinkan mengatakan, tiga bulan lagi akan ada mobil baru buatan dalam negeri. Sebaiknya abaikan saja omongan itu. Nggak bakalan ada tuh barang. Kalau nanti setelah lewat tiga bulan kita nanya, jawabannya bikin gondok. “ Lha kok soal mobil nanya saya, tanyalah ke pabriknya. Memangnya saya yang bikin mobil. Saya cuma menyampaikan, tukang mobil lah yang menentukan.”

Saking terkenalnya kearifan lokal ngeles ini, banyak warga luar kampung Lengkuas belajar ngeles di kampung Lengkuas. Salah satunya Papa SN. Boleh dibilang Papa ini sudah lulus cara ngeles yang baik dan benar secara memuaskan. Bahkan saking pintarnya, dia diangkat jadi guru impor di kampung Lengkuas. Tapi sayangnya Komisi Anti Korupsi sudah lebih dulu mempelajari kearifan lokal kampung Lengkuas, hingga nggak bisa dikibulin.

Tapi ciri khas ngeles kampung Lengkuas Papa SN masih belum luntur. Ketika media heboh memberitakan dirinya makan nasi padang di restoran, Papa SN ngeles, “ Saya nggak makan nasi Padang, saya cuma makan bubur. “ Padahal intinya sama. Sampeyan itu narapidana, makan buburnya di saung halaman penjara di Suka Miskin sana, bukan di restoran.

Saking terkenalnya kearifan lokal kampung Lengkuas ini sampai juga ke manca negara. Media terkenal luar negeri menulis judul headline, “ Tuntutlah Ilmu Ngeles Walaupun Sampai ke Kampung Lengkuas. “

Debat Rocky Rhenald

Orang pintar minum tolak angin, orang dungu minum minyak angin. Jauh sebelum Profesor Rhenald Kasali minum tolak angin, saya sudah minum duluan. Kalau cuma masuk angin, cukup dikerokin pakai minyak angin, minum tolak angin, selimutan, angin pun ngacir tanpa permisi. Tetap saja saya tidak merasa lebih pintar. Karena yang saya bisa kibulin cuma angin.

Mentang-mentang sering minum tolak angin, Profesor Rhenald mengajari Rocky Gerung agar membaca referensi soal hoax secara utuh, bukan hanya dari satu sumber saja. “Saya kira referensi itu tidak cukup membaca satu. Anda harus banyak membaca buku,” sanggah Rhenald.

Saya kira ada yang baru soal hoax. Ternyata apa yang Prof Kasali ajarkan pada Rocky sudah pernah saya baca berkat bantuan mbah gugel, cara paling primitif mencari tahu segala hal. Jadi, kalau cuma mau tahu sejarah kata hoax yang berasal dari hocus pocus, mantra para penyihir, nggak perlu repot ngubek-ngubek perpustakaan, cari buku “A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names dan Allusions to Customs”, karangan Robert Nares yang terbit pertama kali pada 1822 di London. Cukup tulis asal kata hoax, mbah gugel sambil kerokan bisa kasih tahu.

Lagi pula, Prof. Rhenald bicara soal asal usul kata hoax, sedangkan Rocky memberi contoh, tidak semua hoax itu ajaran iblis seperti yang dikatakan Prof. Rhenald.
114 tahun kemudian, tahun 1996, Alan Sokal seorang profesor fisika di New York University, seperti diceritakan oleh Rocky Gerung, menggunakan hoax untuk menguji standar intelektual akademisi humaniora di Amerika Serikat.

Alan Sokal mengirimkan paper “Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity” yang berisi argumen dan fakta palsu ke jurnal Social Text.

Beberapa minggu setelah paper Sokal terbit, Alan Sokal menulis esai berjudul “Physicist Experiments with Cultural Studies” yang terbit di jurnal Lingua Franca pada 15 April 1996. Dalam esainya, Sokal membeberkan bahwa papernya yang terbit di Social Text itu hanyalah parodi untuk mengejek para pemikir posmodern. Di kemudian hari insiden ini masyhur dikalangan publik akademisi dengan nama hoax Sokal.
Menurut Rocky, hal yang sama ketika kita ajukan ujian kepada kekuasaan. Kemudian, kekuasan bereaksi negatif. “Artinya, kekuasan juga gak berpikir.”

Prof. Rhenald cari pembenaran lain. “Hari ini bukan orang dungu yang dikelabui. Orang-orang pandai, orang-orang yang ibadahnya baik pun dikelabui,” katanya.
Lho? Bukankah Prof. Rhenald malah membenarkan pertanyaan Rocky yang mengatakan, orang pintar bisa dikibulin hoax karena malas berpikir? Cuma bisa marah-marah saja?
Saya jadi berpikir keras. Penyebar hoax seberapa banyak minum tolak angin ? Sepintar apa penyebar hoax itu hingga orang pintar, ahli ibadah bisa dikelabui oleh penyebar hoax? Repot kalau orang pintar hanya mengandalkan tolak angin. Seperti Popeye yang baru bisa pintar kalau sudah minum sekaleng bayam.

Kalau orang pintar dan sholeh bisa kena dikibulin hoax, mending berhenti saja minum tolak angin, coba ganti minum minyak angin.