Arsip untuk Juni, 2019

Semalam dapat WA dari teman. Katanya dia nonton Reza Rahadian diwawancarai Metro TV, entah acara apa.Kata teman saya, Reza menyebut nama saya sebagai orang  yang berjasa dalam karirnya di bidang acting.

Ada dua hal yang mebuat saya teringat sesuatu. Pertama, tahun 2004 sewaktu saya menjadi co directornya Ismali Sofyan Sani, Produser pelaksana Rapi Film mengirim anak muda culun yang mengaku nggak pernah berakting untuk jadi peran pembantu sinetron Culunnya Pacarku. Anak muda itu bernama Reza.

Setelah sinteron itu tutup buku,  dua tahun kemduian saya cuma sekali bertemu Reza. Itu pun sambil lalu saja di depan sebuah PH. Setelah lima belas tahun, Reza yang sudah jadi aktor besar kok ya  masih ingat nama saya.

Kedua, pengalaman saya memoles akting Reza saya tuangkan sambil lalu dalam tulisan berjudul, “ Ganteng-Ganteng Hakim MK” tahun 2014. Sebelum say alanjutkan tulsian ini, sebaiknya saya copas saja tulisan itu.

Kita sudah terbiasa memilah-milah wajah dalam spesifikasi tertentu. Wajah cantik dan ganteng hanya di letakan dalam kelompok artis. Jika ada artis yang berwajah tidak cantik atau ganteng maka diragukan keartisannya. Padahal yang bukan artis banyak yang tidak kalah cantik dan gantengnya. Tengok saja tetangga kita, perhatikan wajahnya dengan seksama, bayangkan jika dia memakai gincu atau memakai pakaian tertentu yang biasa dipakai oleh artis. Pasti tidak kalah cantik atau gantengnya dengan artis. Bahkan bisa jadi lebih ganteng, sehingga tanpa sadar mulut kita bergumam, hmmm ganteng-ganteng tetangga gue. Bisa jadi pacar lima langkah nih…

Atau bayangkan begini. Ketika sang artis ganteng masih cengar cengir di ruang casting beserta puluhan pelamar lainnya, wajahnya biasa-biasa saja. Badannya selalu membungkuk kepada petugas casting atau seseorang yang berwajah sutradara. Seperti apa wajah sutradara? Yang pasti  kurang gantenglah. Karena sutradara digambarkan memakai topi ala Putu Wijaya, calon artis ini membungkuk lebih dalam ketika bertemu dengan seseorang berpenampilan seperti itu. Padahal dia pedagang bakmi di depan rumah produksi. Ketika petugas casting memperkenalkan, ini sutradaranya mau melihat akting kamu. Sang calon artis menatap seperti tidak percaya.

Ini pengalaman pribadi saya ketika dulu saya masih menjadi co director di sebuah sinetron seri. Sebut saja judulnya “Culunnya Pacarku.” Seperti biasa ketika sebuah sinetron mulai turun ratingnya, dimunculkan tokoh baru. Celakanya tokoh baru itu akan ditayangkan dua hari lagi. Lebih celaka lagi, pemeran tokoh baru itu saat seluruh crew sudah siap di lokasi  belum ketahuan orangnya.

Unit produksi membisikan,pemeran tokoh baru sudah datang. Ternyata orang oyang ditunggu-tunggu adalah remaja kurus, tidak terlalu tinggi, wajahnya biasa-biasa saja.Namanya Reza Rahadian nama yang sekarang sangat populer. Pada waktu itu nama yang seumur-umujr baru dengar. Kecelakaan berikutnya dia mengaku belum pernah sekalipun  berkating di layar kaca. Dalam hati saya menyumpah pelaksana produksii yang nekad mengirim orang baru untuk peran yang lumayan berat ini. Untuk minta pengganti sudah tidak mungkin. Dua hari lagi mau tayang! Director Ismali Sofyan Sani berkali-kali menggeleng-elengkan sambil senyum kecut.

Karakternya  adalah pemuda yang buta, sejak kecil tidak pernah kena  sinar matahari di sekap di sebuah gudang, oleh kakaknya akan dibebaskan ke dunia luar.Terpaksa saya mengeluarkan semua kemampuan akting saya untuk memberi contoh,  walaupun dalam hati saya tidak yakin remaja yang kurang ganteng ini mampu melakukannya. Tapi setelah satu dua kali latihan,ternyata dia mampu berakting lebih bagus dari saya! Saya mulai curiga jangan-jangan di bohong kalau ini pertama kali aktingnya di layar kaca. Tapi memang begitulah kenyataannya. Sekarang Reza Rahadian sudah jadi aktor hebat. Karena dia berada di jajaran selebritis, secara alami persepsi kegantengannya menyertainya pula.

Selain artis, memiliki wajah ganteng bisa jadi berkah juga.  Dulu Jhony Indo dikenal sebagai perampok ganteng. Setelah keluar dari nusa kambangan dia jadi bintang film, sekarang jadi dai.  Di zaman sosmed ini mulai dikenal  ada pemulung ganteng, ada polisi ganteng, ada satpam ganteng, ada menteri ganteng.

Wajah ganteng SBY salah satu factor yang mengantarkannya menjadi presiden dua kali berturut-turut. Tapi Prabowo kurang beruntung. Wajah gantengnya yang disamakan dengan Al putra Ahmad Dani dikalahkan oleh wajah Jokowi yang disamakan dengan Dede OVJ. Karena sudah menjadi presiden terpilih, ya aura kegantengan Jokowi yang secara berseoloroh dia menyebutnya sama dengan Dude Herlino mulai nampak juga.

Hamdan Zoelva hakim MK dari dulu tidak ada yang mengulas wajahnya. Tapi setelah dia memenangkan kubu Jokowi, kegantengannya mulai ramai dibicarakan oleh kaum hawa di sosmed. Apakah Hamdan tetap ganteng jika misalnya dia memenangkan kubu Prabowo? Entahlah.

Tangerang, 29 Agustus 2014

 Nah, Tahun 2019 ini kembali Prabowo berperkara di MK dengan soal yang sama. Ketua hakim  MK yang sekarang, Anwar Usman, punya tampang yang lumayanlah, nggak ganteng-ganteng amat, nggak jelek-jelek amat. Konon kabarnya, dia dulu pernah membintangi film Perempuan Dalam Pasungan. Mungkin dulu lebih ganteng dari sekarang.

Soal tampang hakim MK ini tergantung keputusannya nanti. Kalau dia memenangkan Jokowi, pasti nasibnya sama dengan Hamdan Zoelva. Media yang sekarang rada-rada miring ke pemerintah pasti akan mengulas wajahnya. Dia akan mendadak menjadi hakim MK terganteng setelah Hamdan Zoelva. Tapi tentu saja bagi para pendukung Prabowo, tampang Anwar Usman nggak ada ganteng-gantengnya. Kalau dia memenangkan Prabowo, ceritanya bisa beda. Begitulah.

Tangerang, 17 Juni 2019

-Balya Nur.

Media memberitakan, Amusrin Kholil relawan sekaligus korban gempa Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, dijerat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.Gegara dia menulis di kolom komentar face book menumpahkan segala unek-uneknya yang sudah bertumpuk-tumpuk tertimbun dalam dirinya.

Bukan hanya rumahnya yang  luluh lantak oleh gempa, tiga keluarga Amusrin Kholil  meninggal dunia akibat gempa. Tapi Amsurin berusaha tetap tabah. Dia tidak meratap di atas puing-puing penderitaan. Dia berusaha tegar. Ketegarannya terubukti dengan ikutan menjadi relawan Endris Foundation. Organisasi yang membantu kelompok difabel di NTB. Saat gempa, organisasi itu bertindak cepat dengan membantu warga korban gempa. Kurang apa kemuliaan dan ketegaran dan kesabaran  hati Amusrin?

Kesabarannya juga  diuji saat kampaanye Pilpres 2019 kemarin. Saat korban gempa mengeluh lambannya penanganan pemerintah pusat dan daerah menangani korban gempa yang hanya diberikan janji-janji manis, TGB memuja-muji Jokowi sebagai presiden yang berhati mulia membantu korban gempa. Menurut TGB, Presiden Jokowi walaupun kalah di NTB pada Pilpres 2014, tapi perhatiannya pada NTB luar biasa besar, bolak balik ke Lombok bahkan ikutan tidur di tenda bersama pengungsi gempa. Walaupun belakangan TGB mengatakan, orang yang mengaitkan dukungannya  kepada Jokowi karena gempa Lombok sebagai orang cacat iman. Amrusil seperti tidak peduli dengan puja-puji TGB kepada Jokowi walaupun di lapangan dia merasakan hal yang bertolak belakang.

Tapi sesabar-sabarnya anak manusia seperti Amrusil ini akhirnya kesabarannya jebol juga.  Pada 26 September 2018, Amusrin Kholil  mengomentari status Facebook temannya. Dia menuliskan kalimat yang menurut pejabat di Lombok Utara mengandung ancaman.

Bunuh dan seret semua jajaran PEMDA KLU kalau tidak segera merealisasikan dana bantuan tersebut…… Bantai semua para pemangku kebijakan yang bertele-tele dalam mengayomi warga korban….. Saya sangat tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh PEMDA,” tulisnya.

Kemarahannya ditumpahkan bukan pada pemerintah pusat, tapi pada pemerintah daerah. Bayangkan, rumah hancur, tiga keluarga meninggal, berusaha tegar dengan membantu difabel, mendengar pujian-pujian saat kampanye yang tidak seuai kenyataan, mestinya dengan latar belakang itulah menilai komentar Amrusil.

Bagi orang-orang yang tidak merasakan penderitaan Amrusil barangkali menganggap komentar Amrusil itu kasar, dan memang kasar, tapi dari latar belakangnya ya tetap manusiawi. Sudah jadi hal yang lumrah ketika kita ada orang yang ditimpa musibah ditinggalkan mendadak oleh orang yang sangat dicintianya, sohibul musibah meratap atau bahkan ada yang menangis meraung-raung, orang yang tidak ditimpa musibah mencoba menyabarkan dengan sejumlah kata-kata bijak. Tapi ketika musibah itu menimpa dirinya, giliran dia yang dinasehati dengan kata-kata bijak itu.

Tambah lagi, media juga memberitakan dalam persidangan, Kuasa hukum Kholil, Yan Mangandar Putra, bersama rekan kuasa lainnya menghadirkan Wakil Bupati Lombok Utara, Sarifudin.

Dalam keterangan usai disumpah, Sarifudin yang menjawab pertanyaan pengacara, mengatakan roda pemerintahan Lombok Utara tidak terganggu akibat komentar Kholil di Facebook.

“Sepengetahuan saya tidak ada yang terjadi membuat pemerintah daerah tidak berjalan. Kejadian itu saya kira menjadi sesuatu yang saya melihat tidak berlanjut, sesuatu hal yang biasa,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan tidak ada pengaduan dari ASN yang merasa terancam akibat komentar Kholil. Bahkan, dia sendiri tidak merasa terancam.

“Karena tidak menyebut pribadi, saya tidak terancam,” katanya.

Tentang ketegaran Amrusil, wakil bupati mengatakan, “Banyak sekali bantuannya pada masyarakat korban gempa. Dia banyak memberikan bantuan,” katanya.

Belum cukup? Tambah lagi, selain wakil bupati, pengacara juga menghadirkan salah satu perumus UU ITE, Teguh Arifiadi. Teguh juga menjadi ahli beberapa kasus ITE, seperti Ahmad Dhani, Kaesang, Buni Yani, Baiq Nuril hingga Ratna Sarumpaet.

Ahli dari Kominfo ini menjelaskan pasal yang digunakan menjerat Kholil akarnya dari pasal 368 dan 369 KUHP. Dia menjelaskan maksud dalam pasal 27 ayat (4) UU ITE adalah pengancaman dengan maksud memeras untuk keuntungan ekonomi.

“Harus ada motif keuntungan pribadi karena akarnya pasal 368 dan 369 (KUHP). Contoh saya bunuh kamu kecuali kamu kasih saya uang. Harus ada motif keuntungan dan wajib (bermotif keuntungan),” katanya.

Sementara itu, pada komentar Kholil, tidak memiliki motif ekonomi. Kholil dalam komentarnya bermaksud agar pemerintah daerah mempercepat bantuan gempa.

“Kesalahan fundamental jika menggunakan pasal itu, karena itu harus motif keuntungan,” katanya.

Kemudian, dia juga menjelaskan yang dimaksud dapat diakses publik seperti status Facebook, bukan komentar pada status Facebook.

“Status dapat diakses publik. Kalau komentar itu ruang terbatas, ketika sudah lebih dari lima (komentar) dia akan hilang, kita perlu tindakan tambahan lagi, makanya status sifatnya publik, tapi komentar ruang tambahan,” katanya

Lantas kemana lagi mencari keadilan? Mengadu pada presiden Jokowi? Paling dia cuma bilang, serahkan saja pada hukum. Atau, jangan tanya saya, tanyakan saja pada kapoliri, pada jaksa, atau terkait UU ITE pada menkominfo. Sementara ketidak adilan terus saja menari telanjang di depan kita.

Mestinya TGB juga ikut merasakan ketidak adilan yang menimpa warga NTB ini. Tapi sekarang TGB lagi mesra-mesranya dengan istana. Nggak mungkinlah dia mengeritik minimnya keberpihakan pemerintah pada keadilan.

Tapi rasanya sebagai ulama TGB tidak keberatan kalau diajak istighfar nasional. Mohon ampun kepada Allah SWT atas terus berlangsungnya ketidak adilan yang dipertontonan di hadapan rakyat kecil. Hari demi hari.

Balya Nur

Jokowi  saat kampanye pilpres berkali-kali menepis tudingan anti Islam, kriminalisasi ulama, ya semacam itulah. Dia berkali-kali juga menyampaikan fakta bahwa pemerintah dekat dengan ulama. Tentu saja fakta yang dibeberkan adalah kedekatannya dengan ulama NU dan-sekali-kali- para tokoh Muhammadiyah. Pokoknya dekat dengan ulama yang mendukungnya. Sedangkan para ulama yang ber”oposisi” nampaknya semakin jauh.

Kedekatan pemerintah Jokowi dengan LSM yang juga “memusuhi” ulama yang katakanlah pendukung atau simpatisan Prabowo bukan cuma sekedar dekat.  “Fatwa-fatwa” Setara Institute  dijadikan rujukan oleh pemerintah.

Mendagri Tjahyo Kumolo ikutan sedih dengan hasil “fatwa”  Setara Institute soal Kota terintoleran  2018.  Mendagri ikutan memberikan apresiasi terhadap kota yang oleh penilaian Setara dianggap toleran.

Kota yang paling toleran menurut Setara adalah, Kota Singkawang, Kalimantan Barat , yakni Salatiga, Pematang Siantar, Manado, Ambon , Bekasi , Kupang , Tomohon ,Binjai  dan Surabaya

Kota yang paling tidak toleran, Tanjung Balai, Banda Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan dan Sabang.

Kalau kita perhatikan dengan seksama, entah kebetulan entah sengaja, secara umum kota-kota yang paling toleran itu dalam pilpres 2019 adalah basis pendukung Jokowi. Sedangkan secara umum kota-kota yang paling tidak toleran itu adalah basis pendukung Prabowo. Walaupun diumumkan sebelum pilpres, tapi pastilah tim kampanye masing-masing sudah pegang peta dukungan tiap kota. Pantesan Mendagri semangat banget.

Sebelumnya, ketika lagi rame-ramenya kasus Ahok, Ahokers bikin petisi bubarkan MUI. Wajarlah kalau Ahokers dendam sama lembaga yang dipimpin oleh KH Ma’ruf Amin itu. Tapi bukan cuma Ahokers, wakil ketua Setara Institute, Bonar Tigar Naipospos pun ikutan barisan pengecam MUI.

Tidak puas sampai disitu. Setara sekarang jadi juri siapa yang pantas jadi ulama, siapa yang tidak. Setara tidak mau kalah dengan Kementrian Agama. Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri oleh Setara dianggap sebagai “sarang” radikalisme.Ini  terkait dengan riset Setara soal  peta ancaman atas negara Pancasila di PTN.

Setara menilai, sejumlah perguruan tinggi itu lebih gemar mengundang ceramah Felix, Salim A Fillah, dan Adi Hidayat dibandingkan Quraish, Musthafa Bisri (Gus Mus), atau M Zainul Majdi (TGB).

Tentu saja keulamaan nama-nama itu tidak diragukan lagi. Tapi memilah satu kelompok ulama yang dianggap radikal dengan kelompok ulama yang dianggap punya ilmu agama yang luas tentu saja bukan keahlian Setara untuk menilainya. Makanya penilaian itu lebih politis. Coba saja perhatikan nama-nama ulama itu. Ulama yang oleh Setara dinilai sebagai ulama beneran adalah ulama yang mendukung Jokowi dan ulama yang dianggap radikal adalah ulama yang mendukung atau simpatisan Prabowo pada Pilpres 2019.

Mestinya Setara bukan cuma meriset, tapi juga mikir. Kenapa perguruan tinggi lebih gemar ulama ini bukan ulama itu. Bisa jadi karena ulama yang disebut garis lurus itu kalau ceramah bukan membagikan ilmu agama, tapi malah memuja-muji pemerintah. Tentu saja membosankan. Barangkaliiii….

Karena merasa dijadikan rujukan oleh pemerintah, Setara kembali berulah. Setara mengusulkan screening radikalisme bagi lulusan CPNS. Merujuk hasil riset di sejumlah perguruan tinggi itu, tentu saja yang dimaksud Setara dengan radikalisme adalah calon PNS yang jadi jamaah Ust. Felix Siauw, Ust. Salim A. Fillah, Ust. Adi Hidayat, dan kawan-kawan. Dalam barisan ulama ini masih ada nama Ust. Abdul Somad, cuma nggak disebut saja.

Nah, jadi siapa biang kerok perpecahan bangsa ini?

 Lebaran  ke rumah Bang Rojak bukan cuma bicara soal ketupat,kacang goreng, manisan beruluk,  kue satu, keu kembang goyang, atawa sagon, tapi nyerempet ke soal politik. Padahal awalnya ada tetamu yang anaknya bandel banget. Makan sagon disemburin ke tetamu tetamu yang lain.

Bukan cuma itu. Ketupat diacak-acak, kue satu diambil satu-satu tapi nggak dimakan, malah dibuat main sambit-sambitan, tapi tentu saja sebagai tuan rumah yang baik Bang Rojak nggak mau bikin malu tetamu.  Walaupun dia gondok banget, tapi Bang Rojak cuma bilang, “ Nggak apa-apa namanya juga anak-anak, kaya ente ente  nggak pernah jadi anak-anak aje…”

Jadi tuan rumah yang baek dan bener sekarang emang lagi diuji. Bang Rojak cerita soal Bang Anies. Kalau udah bicara soal Bang Anies, Bang Rojak semangat banget.

“ Dulu waktu Bang Anies kondangan ke rumah Pak Jokowi di Solo, dia disorakin  sama pendukung Pak Jokowi. Ente inget nggak? “ tanya Bang Rojak

“ Nggak bakal lupa,Bang. “ Saya meyakinkan. “ Bukan cuma disorakin Bang tapi juga diejek pake nepok-nepok pantat mereka. Kurang ajar banget. Rasanya pengen sodok tuh  pantatnye sama bambu runcing. “

“ Nah, kelakuan pendukungnya itu oleh kelompoknya Pak Jokowi malah dibela. Daianggap sebagai ekspresi kekecewaan masyarakat pada hasil Pilkada DKI yang oleh mereka dianggap Bang Anies menang karena jualan Sara, “ Bang Rojak melanjutkan. “ Padahal urusan kondangan kan nggak ada hubungannya dengan Pilkada. Bener, nggak? “

“ Bener banget, Bang. Nggak salah deh, “ jawab saya sambil nyomot kue satu.

“ Padahal ente nggak bilang bener juga ane nggak bakalan ngusir ente. Ente habisin kue lebaran semua, ane ikhlas. Tetamu harus dihormatin. Prinsip itu yang oleh orang Betawi pegang teguh sampe sekarang. Kurang ngelunjak gimana para tetamu di kampung kite? Kurang jorok gimana mulutnye Ahok dulu? Tapi kite punya care buat kasih pelajaran buat mereka. Bukan mengusir, tapi pake cara yang konstitusional.“

“ Terusin,Bang. Ane demen nih…”

“ Ente inget nggak waktu lebaran taon kemaren? Bang Anies ikutan bebaris buat nyalamin Pak Jokowi di istana kalau nggak salah…”

“ Bener ,Bang. Ane inget banget tuh. Bang Anies diteriakin huuuuuu oleh pendukung Pak Jokowi. Heeeh..Rasanya pengen jejelin sagon ke mulutnya para Cebong itu! “

“ Nah, itu die. Kalau udah dua kali, artinye mereka emang bukan tuan rumah yang baek dan bener. Kalau emang merasa anak buahnye ade salah, ya minta maaf kek. Ini mah boro-boro…Kayanya udah jadi hebit gitu. “

“ Apaan tuh, Bang? “

“ Kebiasaan. “

“ Terusin,Bang Ane demen nih. “ Saya nyomot lagi kue satu. Emang kue satu bikinan bininye Bang Rojak bikin ketagihan.

“ Padahal dulu, sewaktu Anies masih gabung dengan Pak Jokowi, dia yang populerin istilah orang baik berkumpul dengan orang baik. Tapi ternyata Bang Anies salah gaul. Bang Anies yang orang baik malah ditendang setelah kekuasaan digengggam. Kampanye abang disayang, habis kampanye abang ditendang. Ente paham nggak? ”

“ Paham banget Bang. Bang Anies orang baik, dia mestinya berkumpul dengan orang baik. Tapi karena dia salah berkumpul, makanya dia ditendang. Terusin,Bang. Ane demen nih…” Saya kembali nyomot kue satu. Emeng kue ini bener-bener gurih.

“ Bang Anies diambil oleh Pak Prabowo, nah disitulah tempat dia sebenarnya. Orang baik memang harus berkumpul dengan orang baik. Ibarat kate, Bang Anies di kelompoknya Pak Prabowo kan tamu, Pak Prabowo tuan rumahnye. Nah, ruan rumahnye ini lu tahu kan, sangat menghormati tamunya sampe sekarang. “

“ Tahu banget,Bang. Tapi ada Bang. Tuan rumah yang  baik pas bergabung dengan tuan rumah yang nggak baik jadi ketularan tuan rumah yang nggak baik. “

“ Ane tahu maksud ente. Pak Beye,kan?

“ Itu die Bang. Nggak salah. Tapi ngomong-ngomong kue satu bikinan mpok gurih banget,Bang. “ Saya nyomot  satu lagu kue satu.

“ Ente habisin juga nggak apa-apa. Asal jangan dibawa pulang.”

“ Abang bisa aje cara nyenening tamu. “

“ Pak Beye sebagai tuan rumah mestinya bisa menahan diri. Biar dia kesel kaya ape juga denger pernyataan Pak Bowo, sebagai tuan rumah yang baik dia nggak etis bikin malu tamunye. Apalagi dalam suasana takziah. Pak Bowo kan cuma bicara apa adanya, kan kampanye udah lewat. Kalau toh dia mau meralat ucapan Pak Bowo, ya nanti-nanti saja. Bikin pernyataan bahwa almarhumah Bu Ani berdiri di atas semua golongan tanpa ada sekatan pilihan politik. Kaya gitu, tanpa harus menyinggung ucapan Pak Bowo. “

“ Bukan cuma nggak etis aje,Bang. Sama saja dia nyundut petasan. Para Cebong yang sumbu pendek itu langsung ngebuli Pak Bowo. Ya, kaya petasan renceng gitu,Bang. “

“ Ane sih ngerti maksud Pak Beye tiba-tiba jadi sumbu pendek gitu. Dia kan lagi pedekate dengan Pak Jokowi. Kalau bisa jejak pilihan politik almarhumah, pilihan politik partainya yang gabung dengan kosong dua dihapus semua. Tapi kan nenek-nenek pikun juga tahu kalau partai demokrat kemarin dukung kosong dua. Nggak ngerti deh ane jalan pikirannye. “

“ Ngomong-ngomong beneran nih kue satunye nggak apa-apa ane habisin,Bang? “

“ Kalau ente nggak malu aje…”

“ Nah, itu die ane masih punya rasa malu. Ini Bang kalau misalnye lebaran ini masih suasana kampanye, pasti kue satu ini bisa ganti nama jadi kue dua, Bang…”

Bang Rojak ketawa ngakak. Saya ikutan ketawa. Tetamu lain yang nggak ngerti urusan ikutan ketawa Suasana lebaran di rumah Bang Rojak jadi tambah ceria.

Saya mulai dari doa Warsisman dulu. Tadinya waktu pertama  melihat doa Neno,ini juga, saya juga sempat bertanya-tanya juga, ini maksudnya apa ini doa ini, atau puisi ini, tapi kemudian saya coba membaca lengkap doanya, puisinya, membuka  youtubenya, dengan begitu  apa…Mungkin kalau orang mendengarnya merinding.

Iman Putra Sidin

Maka kemudian, saya mencoba membayangkan. Apa yang  terjadi dibalik goresan-goresan kata-kata dalam undang-undang dasar di sebuah negara. Karena saya disini sebagai ahlu hukum tata negara, maka kemdian, ketika saya membaca semua doa-doa itu, maka sebenarnya dibalik semua teks kata konstitusi itu, jauh lebih mengerikan dari doa itu, Pak Karni. Karena konstitusi itu adalah kristalisasi dari munajat umat manusia terhadap Tuhannya akan penindasan terhadap kekuasaan yang dikhawatirkan secara terus menerus.

Kenapa ada konstitusi? Sampai sekarang, kenapa ada konstitusi? Karena kita terus mengkhawatirkan kekuasaan itu, yang kekuasaan itu bisa menerkam hak-hak kita, bisa menerkam kebebasan kita, baik sebagai umat manusia, maupun sebagai warga negara.

Kalau kita membaca Undang-Undang Dasar 1945. Maka mungkin kalau kita baca dia sebagai doa, “ Ya Allah, sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, Ya Allah…” Kan begitu. “ Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, Ya Allah…” Maka mungkin Jepang dan Belanda ketika itu yang memberikan BPUPKI marah. Ini maksudnya apa ini? Kamu menyinggung kami di sini? Sudah difasilitasi BPUPKI, PPKI, kok tiba-tiba berdoa seperti itu. Penuh doa munajat, itu. Konstitusi adalah hasil munajat umat manusia.

Sampai lagi di ayat kedua. “ Ya Allah…Bahwa kemerdekaan ini bukan hanya kenginan luruh kami, Ya Allah. Tapi itu atas berkat rahmatMu Ya Allah. Itu doa juga, Pak Karni.  “ Kemudian dari pada itu, Ya Allah. Kami akan membentuk negara Republik Indonesia yang akan memajukan kesejahteraan kami Ya Allah…” Dikristalisasilah dia dalam konstitusi. “ Tapi negara itu tidak boleh riya dan  tidak boleh angkuh YA Allah.  Dia akan berdasarkan pada Tuhan, ketuhanan yang maha esa, Ya Allah.”  Lahirlah Pancasila di ayat perubahan undang-undang dasar. Jadi itu munajat.

Munajat umat manusia tidak sampai disitu, Pak Karni. Di dalam undang-undang dasar masih bermunajat lagi dia disitu. “ Bahwa meski nanti kita memilki negara, kita akan memilih presiden Ya Allah. Suatu saat presiden itu kita pilih, dan sembilan puluh persen rakyat memilihnya, bahkan seratus persen sekali pun rakyat memilihnya, dia tidak boleh angkuh dan sombong, Ya Allah. Dia tidak bisa menduduki jabatan itu Ya Allah ketika dia tidak bersumpah di hadapanMu Ya Allah…Demi Allah, saya bersumpah, kalau dia muslim, akan menjalankan konstitusi dan undang-undang dasar selurus-lurusnya”  Kalau dia tidak bersumpah, biar seratus persen dia tidak akan duduk dalam jabatan presiden itu. Itu doa umat manusia.

Belum lagi sampai disitu, Pak Karni. “ Ya Allah. Kalau kami ciptakan negara ini Ya Allah. Dia harus mendidik anak-anak kami, dia harus mendidik anak-anak tidak menjadi pintar, tapi dia menjadi insan-insan bertakwa dan berakhlak mulia. “ Itu di undang-undang dasar begitu ditulis. Bukan tujuan pendidikan itu adalah untuk  menjadi pintar, tapi insan-insan bertakwa dan berakhlak mulia.

Nah, masuklah doa Neno Warisman. Saya baca-baca doa itu, ini  ada semua rumahnya di undang undang dasar doa ini. Ketika Neno Warisman, saya bacakan satu bait, “ Puisi munajat kuhantarkan padamu  wahai berjuta-juta hati  yang ada di sini. Engkau semua bersaudara dan kita bersaudara, tersambung terekat, tergabung bagai kalung lentera di semesta. “ Ini kan persatuan Indonesia dia bicara.  Jadi ustadz Haikal, kalau doa yang ustadz Haikal mau tanyain saya dimana rumahnya di konstitusi, insya Allah saya tunjukkan doa itu.

Bahkan doa, ada doa, “Ya Allah. Jauhakanlah kami sebagai orang-orang yang mendustakan agama,”  maka munculah pasal, fakir miskin anak terlantar dipelihara oleh negara. Maka munculah kemudian  system jaminan sosial nasional sebagai kristalisasi doa agar kita semua bukan orang-orang yang mendustakan agama. Tidak memberi makan anak yatim dan orang miskin. Munculah system jaminan sosial seperti itu.

Nah, sampai kemudian pertanyaan, di doa ( Neno Warisman ) yang kemudian menjadi diulang-ulang. “ Dan jangan Engkau tinggalkan kami, dan menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan kami, kami khawatir  Ya Allah, kami khawatir Ya Allah tidak ada lagi yang menyembahMu.  Ya Allah izinkan kami memiliki generasi yang dipimpin oleh pemimpin yang terbaik  dengan pasukan  terbaik untuk negeri adil. “ Itu doanya kan, Pak?

Ini doa ini, Pak. Dibunyikan terus dalam undang-undang dasar. Ketika Undang-Undang Dasar 45 dibuat oleh BPUPKI. Kita sepakat, bahwa negara itu berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa. Kita sepakat sampai disitu.  Tapi kemudian kita berdoa, jangan sampai kalau hanya ini, dia larang nanti kita menyembah keyakinan kita, menyembah Tuhan yang kita yakini. Jangan sampai nanti kekuasaan itu muncul firaun-firaun baru. Kita harus mencegah itu. Tidak cukup pasal itu, Pak Karni. Karena kita semua berdoa, umat manusia juga bedoa semua, di dalam rumahnya masing-masing yang kemudian ditangkap oleh para pembentuk undang-undang dasar itu. Maka kemudian muncul lagi ayat 2 disitu. Setiap penduduk dijamin kebebasan beragamanya dan beribadat menurut kepercayaannya.  Siapapun presidennya, tidak boleh setitik pun dia melarang  setiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan untuk menyembah Tuhannya. Itu tahun 45 kita buat.

Sudah berjalan 45 sampai 98 reformasi, Pak Karni. Ternyata kita masih tidak percaya lagi pasal ini, kita berdoa lagi disitu. “ Ya Allah tidak cukup sepertinya pasal ini Ya Allah. Kami khawatir ada kekuasaan yang melarang kami menyembahMu. Melarang kami beribadat kepadaMu. “ Muncul lagi amandemen kedua Undang-Undang Dasar  pasal 28E. “ Setiap orang berhak memeluk agama dan menganut kepercayaannya masing-masing. “  Tidak hanya agama, tapi juga atas kebebasan meyakini kepercayaan. Makanya sekarang kolom kepercayaan sudah masuk di KTP, Pak.

Jadi doa ini adalah doa yang umat manusia dengungkan terus menerus. Selama ada  namanya kekuasaan, karena bagi kami penganut konstitusi, yang namanya kekuasaan itu bukan malaikat., yang namanya kekuasaan itu adalah manusia.  Manusia siapapun yang berkuasa pasti akan punya potensi sewenang-wenang meski dia kawan baik kita. Meski dia sahabat baik kita. Pasti kita akan berasa suatu saat dia akan menindas kita ketika dia menjadi kekuasaan.

Makanya kemudian…Maka konstitusi itu sebenarnya adalah hasil dari munajat umat manusia. Kalau kita cerita lagi dalam sejarah konstitusi, mulai dari kampung saya Maradeka atau wajoe, sampai magna charta revolusi prancis, revolusi Inggris, tidak menangis seperti Neno Warisman disitu, darah dan air mata keluar disitu. Karena ketertindasan atas kekuasaan. Kemudian lahirlah konstitusi untuk mengingatkan kekuasaan itu.

Nah, mungkin pertanyaannya adalah, ini buat kemenangan siapa? Buat kemenangan umat manusia, buat kemenangan kita sebagai warganegara, siapapun presiden terpilih.  Karena siapapun presiden terpilih, pasti berpotensi minimal mengecewakan kita. Makanya banyak menteri yang terangkat, kecewa. Pindah lagi ke kubu berikutnya itu, Pak Karni. Entar terpilih misalnya yang lain, pindah lagi dia merasa tertindas lagi, pindah lagi. Kan seperti itu. Jadi wajar ketika orang berdoa. Dan doa itu tidak boleh berhenti. Karena sekali lagi bahwa kekuasaan itu bukan malaikat. Kekuasaan itu adalah manusia. Seperti itu.

 ————

Sejumlah Ibu Bangsa pada tanggal 22 Mei 2019 nampak berdiri di balik kawat berduri. Juru bicaranya seperti penjual obat pinggir jalan berteriak-teriak menjajakan misinya. Ibu-ibu jangan takut keluar rumah. Jangan terprovokasi dengan rasa ketakutan. Jakarta dalam keadaan aman. Jangan mau ditakut-takuti oleh para elit yang tidak siap kalah,  siapa lagi yang dimaksud kalau bukan kubu 02. Terus diulang-ulang. Diliput dan ditayangkan televisi swasta. Diputar berulang-ulang pada jam dan acara berbeda.

Walaupun IQ minim tapi juga nggak gitu gitu amat. Lha kan waktu itu yang bilang Jakarta nggak aman tidak kurang tidak lebih dati Menkopolhukam dan para menteri dan instansi terkait. Dengan bangganya Pak Menko mengumumkan pembatasan media sosial sampai keadaan dianggap aman. Jadi, biar para Ibu bangsa putus dia punya urat leher untuk meyakinkan para wanita agar jangan takut keluar rumah ya sama juga bohong.  Kan yang bilang negara nggak aman itu para junjungan mereka sendiri.

 Dan lebih anehnya lagi, media televisi yang menayangkan juga gagal focus, gagal nalar, gagal akal sehat. Dalam  jam tayang yang sama, televisi itu menayangkan para ibu bangsa dengan maksud meyakinkan kaum perempuan bahwa negara dalam keadaan aman. Jangan takut keluar rumah beraktivitas. Tapi saat yang bersamaan menayangkan pernyataan Menkopolhukam yang membatasi medsos demi keamanan negara.

Belakangan ini kita memang sedang darurat akal sehat. Dengan dibatasinya medsos, rakyat mau tidak mau dipaksa mendengarkan hanya satu sumber saja dari media mainstream yang sudah jadi juru bicara pemerintah. Maka keluarlah pernyataan-pernyataan aneh :

-Polisi menyita senjata api laras panjang dari tangan pendemo

-Pemasuk senjata api itu adalah emak-emak berhijab

-Emak-emak bercadar kena gangguan jiwa karena belajar tafsir.

-Pendemo menjarah peluru tajam dari mobil Brimob

-Pendemo yang digebukin aparat mengucapkan terima kasih pada aparat.

Itu hanya contoh beberapa saja. Kalau biasanya mendengar ucapan kaya gitu kalau nggak ketawa ya kasihan karena dianggap yang mengucapkan agak kurang sehat rohani, tapi sekarang jadi pernayataan resmi yang wajib didengarkan oleh rakyat karena hanya media mainstream yang sudah bertekut lutut  lah yang sekarang dijadikan satu-satunya rujukan.

Rakyat dipaksa harus memahami pernyataan itu. Walaupun setelah beberapa kali salto, tetap saja rakyat sulit untuk memahaminya. Ya, apa boleh buat. Mau tidak mau. Demi mencegah hoax, medsos dibatasi, saluran informasi  yang dibuka untuk melawan hoax adalah saluran resmi yang berisi pernyataan-pernyataan seperti itu. Dan rakyat harus percaya. Mau tidak mau. Suka tidak suka.

Lagu Sang Kodok

Posted: Juni 1, 2019 in Uncategorized
Tag:

Sejak kecil kita sudah disuguhkan lagu Sang Kodok, lagu jenaka yang menggambarkan saling lempar tanggung jawab.

Coba tanya sama Sang Kodok, kenapa ente kerak kerok aje?

Jawab Sang Kodok, tanya sama hujan kenapa dia nggak mau turun?

Coba tanya sama Sang Hujan, kenapa ente nggak mau turun?

Jawab Sang Hujan, coba tanya sama Sang Ikan, kenapa dia nggak mau timbul?

Coba tanya sama Sang Ikan, kenapa ente nggak mau timbul?

Lirik lagu itu berhenti pada Sang Ikan. Mungkin yang bertanya sudah malas. Coba kalau Sang Kodok langsung jawab, pasti nggak serepot ini.

Lagu itu nampak punya menyisakan dampak saat kita tumbuh dewasa. Ambil contoh di pemerintahan. Coba saja tanya pada Presiden, kenapa harga tiket pesawat mahal? Jawabnya, tanya pada Menhub. Coba tanya Menhub, jawabnya tanya sama Agen Travel online.

Coba tanya pada Presiden, kenapa harga bahan pokok melambung? Jawabnya, tanya pada Kemendag. Coba  tanya pada Kemendag, Jawabnya, tanya sama pedagang kenapa naikin harga seenaknya.

Begitulah. Sudah saatnya lirik lagu Sang Kodok direvisi.

Sang kodok eh eh sang kodok
Kenapa eluh kerak-kerok  aje

Makanya aye kerak-kerok aje
Eh karena aye masih betah jadi kodok satu priode lagi.

Dijawab tuntas gitu,lho. Kan uenak,toh?