Kearifan Lokal Kampung Lengkuas

Posted: Mei 16, 2019 in Uncategorized

Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Kalau datang ke kampung Lengkuas, kelakuan kita harus menyesuaikan diri dengan kearifan lokal penduduknya. Salah satu ciri khas kelakuan penduduknya adalah cara ngelesnya. Cara ngeles yang sudah jadi tradisi turun temurun.

Jika misalnya bulan puasa ini kamu memergoki  salah satu penduduk kampung Lengkuas sedang nongkrong di warung makan, besoknya kita ketemu dia dan dbilang, “ Kamu ngakunya puasa, tapi kemarin aku lihat kamu makan di warung. Ayo, ngaku…”

Dengan serius dia  ngotot membela diri, “ Ah, nggak…Ngarang saja! Hoax! Aku kemarin nggak makan. Cuma minum teh manis! “ Padahal intinya kan bukan makan atau minum, tapi nggak puasanya itu.

Kalau penduduk kampung Lengkuas bikin sayembara menemukan kecurangan berhadiah satu milyar, jangan langsung percaya.  Coba tanya, uangnya ada nggak? Jawabnya, ada. Masih di tangan pengusaha. Lha iya laaah. Uang segitu pasti ada di kantong pengusaha, masa di tangan tukang cendol. Uang orang dibuat hadiah sayembara.  Kalau kita bilang sih itu ngaco. Tapi bagi mereka itu kearifan lokal yang harus terus dilestarikan.

Kalau misalnya kita tanya, kenapa masih memilih Jae yang sudah jelas ingkar janji. Sodorkan sejumlah bukti janji Jae yang diingkari. Mereka, warga kampung Lengkuas dengan sangat meyakinkan mengatakan itu bukan ingkar janji, tapi target janji yang belum tercapai.

Warga kampung Lengkuas penasaran, dimana sih BPN menghitung suara C1. Sampai wartawan yang berafiliasi dengan kampung Lengkuas antap intip sekitaran markas BPN. Karena nggak nemu pusat pengolahan data BPN, warga kampung Lengkuas sesumbar. Ayo, dong kalau berani tunjukan bukti kalau ada  kecurangan. Undang kami kesana, kita  adu data!

Pas hari pembuktian kecurangan, diundang nggak mau datang. Alasannya, kenapa kecurangan diumumkan ke publik, bukan melalui jalur yang konstitusional!

Kalau ada yang belum pernah melihat cara warga kampung Lengkuas mengucapkan kata “konstitusional,” saya kasih gambaran begini. Mulutnya monyong saat mengucapkan vocal “o” mangap saat vocal “a” dan seperti menyeringai saat mengucapkan vocal “i” Coba saja perhatikan kalau warga kampung Lengkuas mengucapkan, “ NKRI harga mati.”  Karena ada dua vocal “I” di tengah dan akhir, kita akan menyaksikan seringai yang lebih tegas. Kalau mengucapkan huruf konsonan, seperti berdecak dan mendesis. Kalau mengucapkan diftong seperti melambai. Perhatikan kalau mereka mengucapkan kata “lebai” atau “ Target belum tercapai,” dan semacamnya.

Penduduk kampung Lengkuas tidak terbiasa marah. Makanya kalau ada warganya yang maksa marah malah nampak lucu. Coba nanti perhatikan kalau ada warganya yang teriak, “ Dulu saya diam saja, sekarang saya akan lawan! “ Kita tidak menemukan wajah galak apalagi seram, tapi malah nampak lucu.

Cara marah kampung Lengkaus itu berbeda. Wajah mereka nampak tenang, terkadang senyum, sedikit memaksa ilmiah, relegius, tapi besoknya ada yang jadi tersangka, ada yang langsung ditahan. Pokoknya semua diusahakan nampak konstiusional! Sesuai hukum, bla bla bla. Sangkaan, dugaan yang sudah lama terkubur bisa digali kembali, pokoknya yang penting sesuai hukum yang berlaku!

Ya, itu ciri alamiah bukan dibuat-buat. Terbentuk karena faktor lingkungan.  Tapi dari semua ciri kearifan lokal kampung Lengkuas, yang paling dikenal sampai seantero negeri adalah cara ngelesnya. Jadi jangan heran kalau misalnya ada yang dengan sangat meyakinkan mengatakan, tiga bulan lagi akan ada mobil baru buatan dalam negeri. Sebaiknya abaikan saja omongan itu. Nggak bakalan ada tuh barang. Kalau nanti setelah lewat tiga bulan kita nanya, jawabannya bikin gondok. “ Lha kok soal mobil nanya saya, tanyalah ke pabriknya. Memangnya saya yang bikin mobil. Saya cuma menyampaikan, tukang mobil lah yang menentukan.”

Saking terkenalnya kearifan lokal ngeles ini, banyak warga luar kampung Lengkuas belajar ngeles di kampung Lengkuas. Salah satunya Papa SN. Boleh dibilang Papa ini sudah lulus cara ngeles yang baik dan benar secara memuaskan. Bahkan saking pintarnya, dia diangkat jadi guru impor di kampung Lengkuas. Tapi sayangnya Komisi Anti Korupsi sudah lebih dulu mempelajari kearifan lokal kampung Lengkuas, hingga nggak bisa dikibulin.

Tapi ciri khas ngeles kampung Lengkuas Papa SN masih belum luntur. Ketika media heboh memberitakan dirinya makan nasi padang di restoran, Papa SN ngeles, “ Saya nggak makan nasi Padang, saya cuma makan bubur. “ Padahal intinya sama. Sampeyan itu narapidana, makan buburnya di saung halaman penjara di Suka Miskin sana, bukan di restoran.

Saking terkenalnya kearifan lokal kampung Lengkuas ini sampai juga ke manca negara. Media terkenal luar negeri menulis judul headline, “ Tuntutlah Ilmu Ngeles Walaupun Sampai ke Kampung Lengkuas. “

Tinggalkan komentar