“Fatwa-fatwa” Setara Institute

Posted: Juni 9, 2019 in Uncategorized
Tag:, , , ,

Jokowi  saat kampanye pilpres berkali-kali menepis tudingan anti Islam, kriminalisasi ulama, ya semacam itulah. Dia berkali-kali juga menyampaikan fakta bahwa pemerintah dekat dengan ulama. Tentu saja fakta yang dibeberkan adalah kedekatannya dengan ulama NU dan-sekali-kali- para tokoh Muhammadiyah. Pokoknya dekat dengan ulama yang mendukungnya. Sedangkan para ulama yang ber”oposisi” nampaknya semakin jauh.

Kedekatan pemerintah Jokowi dengan LSM yang juga “memusuhi” ulama yang katakanlah pendukung atau simpatisan Prabowo bukan cuma sekedar dekat.  “Fatwa-fatwa” Setara Institute  dijadikan rujukan oleh pemerintah.

Mendagri Tjahyo Kumolo ikutan sedih dengan hasil “fatwa”  Setara Institute soal Kota terintoleran  2018.  Mendagri ikutan memberikan apresiasi terhadap kota yang oleh penilaian Setara dianggap toleran.

Kota yang paling toleran menurut Setara adalah, Kota Singkawang, Kalimantan Barat , yakni Salatiga, Pematang Siantar, Manado, Ambon , Bekasi , Kupang , Tomohon ,Binjai  dan Surabaya

Kota yang paling tidak toleran, Tanjung Balai, Banda Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan dan Sabang.

Kalau kita perhatikan dengan seksama, entah kebetulan entah sengaja, secara umum kota-kota yang paling toleran itu dalam pilpres 2019 adalah basis pendukung Jokowi. Sedangkan secara umum kota-kota yang paling tidak toleran itu adalah basis pendukung Prabowo. Walaupun diumumkan sebelum pilpres, tapi pastilah tim kampanye masing-masing sudah pegang peta dukungan tiap kota. Pantesan Mendagri semangat banget.

Sebelumnya, ketika lagi rame-ramenya kasus Ahok, Ahokers bikin petisi bubarkan MUI. Wajarlah kalau Ahokers dendam sama lembaga yang dipimpin oleh KH Ma’ruf Amin itu. Tapi bukan cuma Ahokers, wakil ketua Setara Institute, Bonar Tigar Naipospos pun ikutan barisan pengecam MUI.

Tidak puas sampai disitu. Setara sekarang jadi juri siapa yang pantas jadi ulama, siapa yang tidak. Setara tidak mau kalah dengan Kementrian Agama. Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri oleh Setara dianggap sebagai “sarang” radikalisme.Ini  terkait dengan riset Setara soal  peta ancaman atas negara Pancasila di PTN.

Setara menilai, sejumlah perguruan tinggi itu lebih gemar mengundang ceramah Felix, Salim A Fillah, dan Adi Hidayat dibandingkan Quraish, Musthafa Bisri (Gus Mus), atau M Zainul Majdi (TGB).

Tentu saja keulamaan nama-nama itu tidak diragukan lagi. Tapi memilah satu kelompok ulama yang dianggap radikal dengan kelompok ulama yang dianggap punya ilmu agama yang luas tentu saja bukan keahlian Setara untuk menilainya. Makanya penilaian itu lebih politis. Coba saja perhatikan nama-nama ulama itu. Ulama yang oleh Setara dinilai sebagai ulama beneran adalah ulama yang mendukung Jokowi dan ulama yang dianggap radikal adalah ulama yang mendukung atau simpatisan Prabowo pada Pilpres 2019.

Mestinya Setara bukan cuma meriset, tapi juga mikir. Kenapa perguruan tinggi lebih gemar ulama ini bukan ulama itu. Bisa jadi karena ulama yang disebut garis lurus itu kalau ceramah bukan membagikan ilmu agama, tapi malah memuja-muji pemerintah. Tentu saja membosankan. Barangkaliiii….

Karena merasa dijadikan rujukan oleh pemerintah, Setara kembali berulah. Setara mengusulkan screening radikalisme bagi lulusan CPNS. Merujuk hasil riset di sejumlah perguruan tinggi itu, tentu saja yang dimaksud Setara dengan radikalisme adalah calon PNS yang jadi jamaah Ust. Felix Siauw, Ust. Salim A. Fillah, Ust. Adi Hidayat, dan kawan-kawan. Dalam barisan ulama ini masih ada nama Ust. Abdul Somad, cuma nggak disebut saja.

Nah, jadi siapa biang kerok perpecahan bangsa ini?

Tinggalkan komentar