Kembali Ke Monarki Saja

Posted: September 9, 2013 in Uncategorized
Tag:, , ,

 

Kita menganut demokrasi serba salah. Walaupun UUD 45 memberikan hak penuh setiap warga negara menjadi presiden, bukan berarti setiap orang bebas mulus mencalonkan diri menjadi capres. Jangankan nyapres, niat jadi capres saja sudah bikin kelompok yang ngakunya pro demokrasi uring-uringan. Contohnya, Rhoma Irama bikin para pro demokrasi kebakaran bulu dada. Bisa dibayangkan jika misalnya Habib Riziq nyapres.

Mau nyapres yang lebihraja singa sketsa demokratis pake gaya konvensi kaya di Amerika gitu juga disalahin, dituduh konvensi akal-akalan.Mau pake gaya mentang-mentang punya media,punya modal kaya ARB dan Surya Paloh gitu juga disalahin, disebutcapres mentang-mentang. Mau pake gaya deklarasi sepihak kaya waklinya Wiranto yang punya tv MNC group itu juga dihujat oleh orang dalam sendiri. Mau jadi capres pilihan rakyat kaya Jokowi juga susah. Partainya nggak kasih restu. Yusuf Kala? Banyak yang minta jadi capres, tapi lamaran dari partai tak kunjung datang.

Jadi caleg juga serba salah. Sebagai caleg tentu bukan cuma modal pertemanan fesbuk yang paling mentok lima ribu orang. Bikin akun baru tiga kali juga masih jauh , cuma lima belas ribu orang tambah keluarga dekat campur tetangga juga belum cukup. Perlu sosialisasi agar banyak orang yang mengenal paling tidak wajahnya. Sosialisasi inipun digugat juga. Banyak yang merasa tergangu degan baliho,spanduk ucapan idul fitri para caleg. Kalau nggak boleh sosialisasi berarti pemilih asal coblos saja, asal gambarnya masih berwajah manusia. Salah juga. Ada imbauan agar pemilih mengenal betul caleg yang dipilihnya. Lha cara mengenalnya gimana kalau sosialisasi diganggu terus?

Demokrasi memang mahal dan bedarah-darah. Misalnya Pilkada. Ada usulan demokrasi yang lebih murah, pemilihanoleh DPRD, ditolak juga. Takut politik permaianan uang . Tapi DKI merupakan demokrasi yang agak aneh. Angota DPRDnya nggak punya kerjaan. Mau mengawasi siapa? Lha mau ngawasi Jokowi, banyak yang memaki. Mau kritis terhadap Jokowi malah dibully. Mau menyusun anggaran, Jokowi punya punya perhitungan sendiri.

Ada kesan umum,politisi nggak boleh dipercaya. Lha demokrasi tanpa politisi gimana caranya? Sudahlah, kembali ke Monarki saja. Nenek moyang kita juga dulu bisa hidup kok dengan monarki. Emangnya Cuma demokrasi yang bisa bikin hidup lebih hidup? Nggak ada lagi tawuran berdarah antar pendudkung partai,pendukung cabup,cagub, dan ca lainnya. Nggak ada lagi kantor pemerintah dibakar masa. Nggak ada lagi demosia-sia di depan istana. Gantinya, rakyat kumpul di depan istana ketika istri pengeran akan melahirkan bayi pertama, sambil menebak siapa kira-kira namanya? Kalau toh ada pelanggaran, ya pelanggaran ringan saja. Rakyat yang penyakit judinya belum sembuh betul, nama calon bayi pangeran bisa jadi tebak-tebakan berhadiah. Tapi persoalannya, siapa raja pertama kita nanti? Duh, bingung juga.

14082013

Komentar
  1. mawi wijna berkata:

    Yang terjadi sekarang ini karena semua orang menuntut keadilan dan yang berkuasa seringkali berlaku tidak adil, hanya memihak golongan tertentu.

Tinggalkan komentar